I am Indonesian

Everyone Have an Own Name and Story

120 Meter Lagi : finally!



Matahari sudah menampakkan dirinya, muncul dari sisi timur gunung ini. Sinar matahari membantu kami memberi penerangan dalam perjalanan kami menuju puncak. Sialnya, kami harus sesegera mungkin sampai Puncak sebelum gas beracun mulai turun menyerang siapa saja yang masih ada di sekitarnya. Jalur yang semakin memuakkan, semangat yang down, dan fisik yang terseok-seok semakin memersulit langkah kami menuju Puncak. 3 orang dari kami sudah kembali ke tenda, dan aku sudah tidak mau memikirkan siapa lagi yang jadi 'korban' selanjutnya. Bisa jadi aku.


***



Satu... Dua... Tiga... Em..pat... Li....ma... En.....aam... Tuj...

Srottttttttt..!!

Aku terperosot ke bawah beberapa meter. Oh, Damn! Susah payah aku naik ke atas, kini aku kembali terperosot ke tempat semula. Linu di kakiku mulai terasa kembali, tapi aku sudah gak peduli. Aku yakin bahwa teman-temanku lainnya juga pasti ada yang merasa linu di kakinya, tapi mereka diam saja tanpa keluhan. Kalau mereka saja bisa, masak aku gak bisa. Aku mencoba membulatkan tekadku lagi, walaupun susah.


Ya... Kini kami ada di gunung pasir Mahameru. Sejam yang lalu kami berhasil melewati jalur pasir yang sebelah kanan-kirinya jurang dan telah siap mendaki gunung pasir Mahameru. Dan sekarang, aku masih bisa melihat tempat sebelumnya dengan sangat jelas. Aku hanya berjalan tidak lebih dari seratus meter dalam waktu sejam. Ini kebangetan! Tapi memang inilah yang biasa terjadi di gunung pasir Mahameru. Melangkah 5 meter ke atas, kamu akan terperosot 3 meter ke bawah. Melangkah 3 meter ke atas, bisa jadi kamu akan terperosot 5 meter ke bawah. Ini semua tergantung seberapa kuat pijakanmu pada lahan yang miring 450 ini. Mungkin akan lain ceritanya jika kami membawa dua buah tongkat panjang di tangan kanan dan kiri kami. Tongkat tersebut bisa membantu memperkuat pijakan kami dan mencegah terperosot ke bawah, seperti yang dilakukan para pendaki bule yang kami temui. Aku pun memakai kedua tanganku untuk membantu melangkah dan sebagai pijakan (seperti merangkak) tambahan, tapi tetap saja terperosot ke bawah. Ah... berarti ini bukan karena aku gak bawa tongkat, tapi tekadku yang mulai kendur.


***


Sejam kemudian, kami masih berusaha mendaki puncak Mahameru dengan fisik dan semangat yang terseok-seok. Seiring berjalannya waktu, grup kami ini seolah-olah terpecah menjadi dua: yang di atas dan yang di bawah. Di bawah ada aku, wati, fariz, Kak Sari, sama Kak Delson. Sisanya 20 meter ada di depan kami. Jarak 20 meter sangat berarti mengingat kondisi jalur yang seperti ini. Kak Delson dan Kak Sari pun sebenarnya ada beberapa meter di belakangku, sehingga otomatis tinggal aku, Wati, dan Fariz yang berada dalam satu kumpulan.

“Aduh, aku udah bener-bener gak kuat ini. Plis jangan maksa aku buat lanjut naik ke atas..”, pinta Wati.

“Aduh, Wa.. Udah tinggal dikit lagi, Nanggung banget..”, ujarku sekenanya. Sebenarnya aku juga lagi berjuang mengumpulkan semangatku kembali.

Tak lama kemudian, Kak Sari datang menghampiri kami, tanpa Kak Delson. “Ayo, lanjut!”

“Loh, Kak Delson mana?”, tanyaku.

“Dia kecapek’an kayaknya. Dia pengen minta tidur’an bentar di sana, minta ditinggal.”
“Loh, gak apa-apa ta, Kak Sar?”
“Udah.. gak apa-apa... Orang udah gedhe juga. Paling’an ntar dia balik ke tenda sendiri. Yuk Lanjut!”

Nah, berkurang 1 orang lagi.
Aku segera bangkit berdiri, gak mau jadi orang berikutnya yang tertunda. Wati masih setengah enggan buat melanjutkan berjalan. Dari wajahnya memang tampak kalau dia sangat kelelahan. Tapi aku bisa bantu apa, membangunkan semangatku lagi aja masih setengah-setengah.

“Ayo, Wat, Jalan! Saya bantu nanti.”, ujar Fariz sambil menarik tangan Wati yang secara otomatis membuatnya segera bangkit. Tangan kiri Wati memegan batang pohon yang dijadikannya sebuah tongkat dan tangan kanannya digandeng dan ditarik Fariz. Wati tidak akan bisa berhenti, kecuali Fariz berhenti. Aku sangat takjub dengan apa yang dilakukan Fariz, tapi hal itu membuatku lega juga karena perjalanan ini masih akan berlanjut. Tinggal aku sendiri yang masih bergelut dengan fisik dan keyakinanku sendiri.


***


Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, tapi panasnya sudah menyengat. Panas matahari ini bercampur dengan dinginnya angin puncak. Jadi kalau kebetulan ada angin bertiup, bakal dingin banget. Kalau gak ada, ya menyengat.

Kulihat rombongan grup atas sudah berceceran, tersebar dimana-mana. Sudah ada beberapa yang mendahului ke atas, yang lainnya ada yang istirahat: nyemil, minum, duduk, bahkan ada yang tidur’an. Aku sendiri berada paling buncit ditemani Kak Sari.

“Kak, aku duduk sebentar ya? Kak Sari duluan aja gak apa-apa...”
“Ya udah aku tunggu. 2 Menit aja ya.”

Beberapa menit kemudian aku minta waktu duduk lagi.

“Kamu kenapa? Berat ta tas mu?” Memang dari Kalimati sampai sekarang aku yang membawa backpack yang isinya air minum cadangan, berbagai kamera, dan cam –corder. Sebenarnya gak berat kok tas itu.

“Mana tas mu? Aku yang bawa..” Paksa Kak Sari sambil melepaskan tas dari punggungku.
“Gak usah, Kak.. Gak berat kok...” Tentu aku menolak.
“Gak apa-apa. Gantian aja. Nanti kalau aku sudah kecapekan, tas nya aku kasih ke kamu lagi.” Kak Sari memaksa melepas tas-ku dan kini tas tersebut sudah bersandar di punggung Kak Sari.

Beberapa menit kemudian, aku melihat langkah Kak Sari gak imbang, terseok-seok. Giliranku sekarang untuk memaksa Kak Sari agar menyerahkan tas nya  kepadaku. Dan kini tas nya sudah tersandar puas di punggungku kembali.

Kondisi Penanjakan

Kulihat ke atas, ternyata Karina dan Lisa (dari grup atas) masih saja berisitirahat. Ternyata mereka berdua memang sengaja menungguku. Mereka butuh air minum. Air minum yang mereka bawah sudah habis. Kini di belakang ada 4 orang. Aku, Lisa, Kak Sari, dan Karina. Fariz dan Wati tidak begitu jauh di depan kami. Mereka masih saja bergandengan tangan bersama meraih puncak Mahameru. Melihat mereka berdua aku membayangkan sepasang kekasih yang berusaha mati-matian mempertahankan cinta mereka berdua dengan menaklukan puncak gunung ini. Hahaha, Kacau!

Kami berempat masih beristirahat. Kak Sari pamit duluan untuk berjalan ke atas. Kemudian kami bertiga pun mengikuti langkah Kak Sari. Semangat Kak Sari sudah terkumpul kembali dan itu terbukti dari langkah kakinya yang begitu cepat. Dalam beberapa menit, Kak Sari sudah jauh berada di depan kami. Lisa pun begitu. Walaupun langkah kakiknya tidak secepat Kak Sari, tapi dia konsisten. Sedangkan aku masih mencoba berbagai metode untuk segera sampai ke Puncak Mahameru. Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ini artinya sebentar lagi mau tidak mau kami harus turun ke bawah kalau tidak mau terkena serbuan wedhus gembel. Kutengok kebelakang sebentar.

Subhanallah!

Pemandangan di belakang sangat indah. Aku bisa melihat hamparan pegunungan dengan selimut awan tipis menutupinya. Dan semuanya itu berada di bawahku. Kalau dari sini saja sudah seindah ini, apalagi kalau di Puncak. Aku memanfaatkan waktu yang tinggal beberapa menit ini untuk sesegera mungkin sampai Puncak. Kucoba segala cara supaya bisa melangkah dengan cepat dan tidak terperosot: melangkah panjang, lompat-lompat kecil dengan kedua kaki, merangkak, bahkan merayap. Hasilnya, nihil! Aku kembali terperosot jauh beberapa meter ke bawah.

Karina berada beberapa meter di depanku. Dia menoleh ke arahku, mungkin dia mau menyampaikan “Baik-baik saja, Kik? Ayo pasti bisa!”. Aku merespons tolehannya dengan senyuman dan sebuah anggukan, mempersilahkan dia berangkat duluan ke atas tanpa mempedulikan keadaanku. Setiap orang mempunyai mimpi sendiri-sendiri dan pasti ingin sesegera mungkin mewujudkannya. Aku tahu ini adalah salah satu mimpi Karina...,
dan mimpiku juga.


***


Karina sudah berada jauh di depanku. Sebentar lagi mungkin dia tidak terlihat, tertutup oleh bebatuan. Aku sendiri masih berusaha untuk bergerak ke atas. Aku tidak mau tinggal diam menanti hancurnya mimpiku. Waktu semakin mepet dan aku tetap terus bergerak ke atas. Aku mencoba setengah berlari. Merangkak dengan kasar karena emosiku sangat tidak stabil saat itu. Aku mencoba bertumpu pada bebatuan untuk menahanku agak tidak perperosok. Bukannya aku tertahan, yang ada malah batu itu ikut runtuh dan menyebabkan longsor kecil. Aku pun ikut terperosot jauh ke bawah karena tumpuanku hilang.

Aku kembali bangkit dan segera mencoba berlari ke atas tanpa melihat pijakan. Kulihat sebelah kananku ada papan penunjuk lokasi berapa jauh lagi akan sampai di Puncak. Samar-samar kulihat tulisan “120 m”. Melihat sisa waktu yang ada, sebenarnya sudah tak mungkin untuk aku berada di  Puncak. Aku sadari itu. Aku sangat sadari itu. Tapi aku tak rela membiarkan salah satu mimpiku musnah begitu saja.
Aku mencoba berlari ke atas dan... terperosot jauh ke bawah.
Sekali lagi aku mencoba berlari ke atas dan... kembali terperosot jauh ke bawah.

Hingga akhirnya, aku bertemu dua orang pendaki yang tidak kukenal, “Mas mau ke atas? Sudah gak mungkin, mas.. Gas nya sudah mulai keluar dari kawah.. Saran saya segera turun atau kalau tidak bisa mati keracunan di sini...”

Aku balas mereka dengan senyuman dan anggukan, dan...
Hati yang menjerit sedih. Sakit.


***


“Wah... Keren banget! Aku mupenggg...”, komentar Anggun, salah satu sahabat terdekatku.

“Salahnya sendiri kamu gak ikut, sok sibuk!”, komentarku acuh sambil menyeruput minuman soda.

“Iyo, kamu se, Njun.. Aktivis sibuk di kampus..”, komentar Karina sangat membantuku. Potongan ayam cukup besar sukses masuk ke mulutnya.

Saat ini aku berada di sebuah foodcourt di Surabaya, melihat-lihat kembali dokumentasi perjalanan tak terlupakan itu. Sudah lebih dari 1 bulan perjalanan luar biasa itu telah berlalu. Namun, aku tak pernah bosan membahasnya, terlebih jika membahas dengan sahabat. Terlebih lagi jika sahabat tersebut juga doyan dengan hal-hal semacam ini, Anggun salah satunya.

“Loh, foto di puncak kok dikit sih?”, tanya Anggun.

“Hahaha.. kameranya di tas nya Rizki. Lha Rizki nya gak sampai puncak.”, jawab Karina menerangkan. Mendengar jawaban Karina, aku merasa agak dilecehkan. Namun kutepis pikiran itu, karena memang itulah kenyataan yang terjadi.

“Iya, Njun... Huhuhuhu... Kaki-ku kram banget deh saat itu. Halah, ker.. kamu juga gak sampe puncak aja...”, aku mencoba membela, menaikkan lagi harga diriku sebagai cowok.

“Iya sih. 80 meter lagi, men! Sayang banget gak sih... Aku lho sampe sempet nangis pas lagi turun karena gak sampe puncak. Sayang banget, padahal tinggal dikit lagi. Sedikit lagi, Men! Mental ku saat itu sudah down banget lho, Kik!”, terang Karina.

Memang banyak yang bilang bahwa perjalanan Mahameru bukanlah sebuah perjalanan biasa, namun sebuah perjalanan Hati. Orang yang biasa naik gunung, orang yang memiliki fisik yang kuat, orang yang membawa perlengkapan super lengkap dan mahal, belum tentu bisa menapakkan kakinya di Puncak Mahameru. Selain itu semua, dibutuhkan juga hati dan mental yang siap dan kuat. Dari total lima belas orang dari grup kami yang mencoba meraih mimpi di Puncak Mahameru: 4 orang kembali ke tenda di pertengahan jalan, 5 orang berhasil ke Puncak Mahameru menyentuh Bendera Merah Putih yang berkibar di atas sana, 2 orang berhasilkan menjejakkan kakinya di tepian puncak, dan 4 sisanya masih berjuang untuk berjalan ke atas namun waktu tidak berpihak padanya.

Oke, aku akan pasti kembali ke sana, Mahameru., dengan mental yang jauh lebih siap. Batinku saat itu.


*** end ***


* Dokumentasi yang sudah berhasil mencapai Puncak:






* Rute Perjalanan:
Ranu Pani – Watu Rejeng – Ranu Kumbolo – Tanjakan Cinta – Oro-oro Ombo – Cemoro Kandang – Kalimati + Air Sumber Mani – Arcopodo – Penanjakan – Puncak.

3 comments:

iDiOTiQUE said...

mantap perjuangannya!! nice story... :)

Unknown said...

Thanks udah mampir baca.. :D

Szasadiandra said...

kins ini mana post barunyaaaa

Post a Comment

 
 

Total Pageviews

Followers