I am Indonesian

Everyone Have an Own Name and Story

120 Meter Lagi : a-half-trip



15 orang sahabat sedang berusaha menggapai salah satu impiannya untuk mencapai puncak tertinggi di Pulau Jawa, Puncak Mahameru. Belum mencapai setengah perjalanan, 3 orang dari kami terpaksa kembali ke tenda di Kalimati, menunda impiannya untuk sementara waktu. Aku sendiri sudah bertanya-tanya dalam hati apa arti di balik ini semua.


***

Puncak Mahameru dari Kalimati

Satu jam berikutnya, kami masih di Arcopodo. Jalur yang dilalui semakin terjal. Anak-anak tangga alami semakin tinggi ukurannya, membuat tenaga yang diperkukan untuk melaluinya cepat terkuras. Tak hanya kami yang merasa kelelahan. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan grup lainnya (dari Indonesia maupun negara lainnya) yang juga tertatih-tatih menggapai puncak Mahameru. Ini memang sangat luar biasa.


“Pritttttttttt.....!!!”, suara peluit dari teman di barisan paling belakang berbunyi. Itu menandakan dua hal: jarak antara yang di depan dengan yang di belakang terpaut cukup jauh atau salah satu dari kami meminta waktu untuk istirahat karena fisik yang sudah tak sanggup lagi.

“Istirahat duu ya, rek.. Bentar doang.. Kakiku capek banget..”, ujar Karina sambil minum seteguk air.

Tidak hanya Karina saja sebenarnya, sebagian besar dari kami excited banget dengan waktu istirahat ini. Aku pun juga menggunakan waktu istirahat ini sebaik mungkin. Kuluruskan kakiku. Kuregangkan tubuhku. Asumsiku, pasti ada beberapa orang yang  fisiknya sudah tak mampu lagi, namun mereka tetap memaksakan untuk melangkah dan terus melangkah mengingat waktu yang semakin mepet. Dalam kondisi seperti ini, aku gak tahu mana yang lebih baik antara egois meminta waktu istirahat atau bertindak bodoh dengan menyiksa tubuh sendiri. Yang aku tahu, mereka semua luar biasa.

“Wa, kamu kok diam aja?”
“Iya, Wa.! Tumben diem aja?”

Melihat Wati yang tak bersikap seperti biasanya, beberapa temanku langsung reaktif.

“Aduh, rek. Aku stop aja ya. Kakiku ini sebenarnya udah gak sanggup dibuat jalan lagi. Kaki kananku ini sakit banget.”, ujar Wati mengagetkan semua.

Beberapa dari kami langsung menghibur dan memotivasi Wati. Beberapa lainnya memilih diam. Aku sendiri memilih mencoba mencairkan suasana dengan style-ku sendiri.

“Wes ta lah, Wa.. isok isok.. Engko pas sampe puncak kene mangan rawon yok. Sembarang wes, teko kulitku yo kenek.”

Krik... krik...

Entah jayuz, garing atau apa lah namanya terserah. Yang penting aku sudah berusaha untuk tidak mengurangi lagi jumlah anggota dalam grup ini.

“Eh, aku benar-benar udah gak kuat nih. Aku nunggu di sini aja ya sampe kalian turun dari puncak. Gak mungkin juga kalo aku balik ke tenda sendirian. Aku juga gak enak kalo ada yang nemenin aku balik ke tenda, jadi aku tunggu disini aja ya.”. Itulah permintaan Wati. Semua pun diam. Diam karena bingung harus berbicara apa atau diam karena tersadarkan ucapan Wati bahwa tidak ada yang ingin menghentikan perjalanan ke Puncak sekalipun itu untuk menolong sahabat sendiri. Aku sendiri gak tahu mengapa kami diam.

“Gak. Gak ada yang namanya tunggu disini sendirian. Kamu gak ngeri apa duduk sendirian di tengah hutan pagi buta begini?”, kak Sari akhirnya memecah keheningan.

“Gak”, jawab Wati.

“Gak. Kamu harus tetep jalan. Kalo kamu gak kuat entar aq dorong lewat belakang. Eh yang depan jangan lupa nanti Wawa dibantu buat naik ya!”. Usul Kak Sari. Secara pribadi aku sangat setuju. Semua nampaknya juga demikian. Dan Wati pun akhirnya mengikuti usul Kak Sari. Mungkin justru tambah merepotkan semua jika Wati tetap bersikukuh dengan pendapatnya.


***


Kami masih di Arcopodo. Entah sekarang sudah jam berapa, namun sederet cahaya perpaduan warna ungu-oranye sudah nampak di ufuk timur. Sebentar lagi matahari akan terbit.

Selangkah demi selangkah kami mulai mencoba menapaki Mahameru. Pohon vegetasi sudah semakin berkurang jumlahnya. Ini artinya Arcopodo sudah akan selesai dan kemudian akan disambut dengan penanjakan gunung pasir. Kiri-kanan kami ternyata jurang terjal dengan kemiringan 700. Angin berhembus dari arah kanan ku. Ngeri sekali saat aku membayangkan aku bakal jatuh ke jurang sebelah kiri ku karena tertiup angin.

Kres... Kres...

Kulihat tanah yang kuinjak sudah berganti dengan kerikil pasir warna putih. Dan disini sudah tidak ada lagi vegetasi di kanan-kiri. Di depan sudah berdiri tegap gunung pasir puncak Mahameru siap menghadang para pendaki yang berusaha menjamahnya.

`Batu Nisan` para pendaki yang telah dipanggil oleh-Nya. Monumen itu diletakkan pada lokasi jasad para pendaki atau barang terakhirnya yang ditemukan (jika jasadnya hilang). Cukup banyak ditemui selama perjalanan ke Puncak Mahameru.

“Eh... Hati-hato teman-teman jalannya. Jangan terlalu minggir ya, nanti keperosot jatuh. Ambil bagian kiri aja.” Komando yang di depan.

Jalanan sekarang memang gak terjal, tapi tetap memiliki aura kengerian tersendiri. Lebar jalanan mungkin hanya sekitar 1,5 meter. Sebelah kiri-kanan jalan ada jurang. Oke, mungkin kalau Cuma itu gak jadi masalah. Menjadi masalah ketika jalan yang kami lewati bukan jalan yang biasa, melainkan jalan yang hanya terdiri dari kerikil dan pasir putih (sejenis pasir pantai yang ukurannya agak besar). Melangkah ke jalan itu, kakimu akan tenggelam sampai ke mata kakimu sehingga kamu bisa merasakan dinginnya pasir gunung di shubuh hari. Dan yang bikin risih adalah pasir-pasir tersebut masuk ke dalam sepatu dan kaos kakimu. Bayangani aja, gak enak banget kan.

Aku sendiri sangat waspada dan merasa tertantang dengan jalur ini. Pandangan mataku selalu ke bawah, mencari spot-spot yang cukup bagus digunakan sebagai pijakan. Begitu ada pijakan yang kurasa cukup bagus, aku melompat ke sana. Di sisi lainnya ada pijakan yang bagus lagi, aku melompat ke situ. Aku asyik sendiri dengan ‘permainan’ ini.

“Eh, riz... Jangan terlalu ke kiri. Bahaya.!!!”

Secara tak sadar aku memang terlalu ke sisi sebelah kiri. Sedikit saja salah langkah, bisa-bisa aku terjun bebas ke dalam jurang. Kulihat kondisi jalur di sebelah kananku tamat-tamat. Begitu menemukan spot yang bagus buat berpijak, aku melangkah selebar mungkin (setengah melompat). Dan...

Cetit!

Argh! Kakiku terasa ngilu sekali dan mendadak susah dibuat gerak. Aku langsung terduduk lesu di situ, meluruskan kaki, membuka sepatu sebelah kiriku, dan mengamatinya. Sebenarnya percuma saja aku sok-sok mengamati kakiku, toh aku bukan anak kesehatan. Namun, tindakan ini membuat kepuasan batin tersendiri. Pasca melakukan pengamatan singkat itu, aku simpulkan dua hal: kram atau ada otot yang kecetit. Aku buru-buru setengah berteriak meminta salep. Beberapa ada yang menghampiriku, membawakan salep yang kubutuhkan. Kuoleskan salep ke seluruh pergelangan kaki kiriku dan kugerakkan berputar-putar.

“Gimana? Sudah bisa lanjut?”
“Sip. Oke. Sudah agak enak’an kayaknya.”

Kulanjutkan perjalanan ini. Kutengadahkan kepalaku. Matahari sudah mulai terbit menampakkan dirinya. Seiring dengan itu semangatku seolah-olah mulai terbenam, tidak semenggebu-gebu saat pertama berangkat dari Kalimati.


***

0 comments:

Post a Comment

 
 

Total Pageviews

Followers