Orang Indonesia punya sebuah peribahasa: Malu Bertanya Sesat di Jalan. Sedangkan,
orang bule punya kebiasaan untuk membaca peta daripada bertanya. Entah darimana
peribahasa itu bermula dan entah darimana kebiasaan orang bule itu diturunkan,
yang jelas dua spesies sejenis berbeda ras itu punya prinsip berbeda sebagai
seorang navigator. Bisa jadi karena orang
Indonesia terkenal ramah dan berjiwa sosial, sedangkan orang bule sosok yang
mandiri dan profesional. Bagiku, orang Indonesia (aku juga dong... –“) malu-malu’in karena banyak bertanya
tanpa berusaha terlebih dahulu. Orang
bule sangat sombong karena merasa dirinya paling tahu.
Tidak ada yang bisa men-judge mana yang lebih baik antara si-banyak-tanya atau si-sok-tahu.
Aku juga bingung kalau disuruh menentukan mana yang lebih baik diantara
keduanya. Keduanya akan berjalan normal dan wajar ketika digunakan dalam
kondisi yang tepat. Dan keduanya juga bisa menghancurkan harga diri ketika
dengan bodohnya si-banyak-tanya atau si-sok-tahu beraksi dalam kondisi yang
salah. Kasihan...
Sekitar lima sampai enam tahun lalu (aku lupa tepatnya kapan), aku masih SMA, dan saat itu aku gak tahu dimana itu ITS. Sialnya, aku dapat kabar kalau sepupuku besok akan ke Surabaya dan minta diantar ke ITS (maklum lah, saat itu dia kelas 3 SMA). Gengsi dong bilang ke sepupuku kalau aku gak tahu ITS. Kemudian, dengan bangga aku sms dia “Oke, besok aku anter ke ITS plus jalan-jalan. :D”.
Kelabakan dan bingung kalau sepupuku besok
mau diantar ke ITS, aku memutuskan untuk survey
sore harinya. Sebelum berangkat, aku tanya ibuku lokasi ITS dimana, beliau
menjawab “Nandi yo? Lak gak salah
Dharmahusada ta Kertajaya kari lurus thok. Lewat’o embong bunder, terus ketemu
keputran, terus kertajaya. Lha engkok luruuuusssss ae sampe ketemu ITS.”.
Setengah percaya sama jawaban ibuku, aku pun sms temanku dan tanya tetanggaku. Dan
ternyata jawabannya pun kurang lebih sama dengan jawaban ibuku. Setelah cukup
yakin aku memutuskan untuk berangkat. Survey
ITS.
Sampai di Jalan Polisi Istimewa, aku mulai
ragu. Sebagai orang Indonesia asli, aku pun bertanya lokasi ITS sama ibu-ibu
yang lagi berdiri di trotoar. “Oh.,
sampeyan lurus terus, terus belok kiri, bla... bla... bla...”, jelas ibu itu
panjang lebar. Aku cuma manggut-manggut setengah mengerti sambil mengucapkan
terima kasih. Sampai daerah Keputran aku tanya lagi. Di jalan kertajaya sebelum
jembatan viaduk, aku juga bertanya lagi. “Wes
iki lurus thok, mas... engkok sampe ITS.”, jawab mas-mas jualan bakso. Thanks mas, aku sudah sangat yakin kalau aku bakalan sampai ke ITS.
Rasanya aku sudah cukup lama naik motor tanpa
belok. Aku juga sudah beberapa kali melewati perempatan traffic light. Tapi kok
ya belum sampai juga ke ITS. Aku mulai bimbang, namun aku masih berjalan lurus.
Setelah perempatan KONI (jika belok kiri menuju ke Galaxy Mall), aku bimbang lagi.
Jalan sudah tidak begitu ramai. Kiri-kanan kulihat sederet rumah gedongan, seprti di kompleks perumahan.
Hmm, aku mulai berpikir kalau aku salah jalan, walau aku merasa tidak pernah
belok. Di depan ada sekumpulan tukang becak. Gak ada salahnya aku bertanya
(lagi), toh juga aku salah jalan.
“Pak...
Mau tanya, ITS dimana ya?”, tanyaku kepada sekumpulan tukang becak. Entah
kepada tukang becak mana yang saya tuju. Harapannya, semoga salah satu berkenan
mau menjawab.
“Pundi,
mas?”, tanya balik salah satu tukang becak. Yap! Akhirnya ada yang mau me-respons pertanyaanku.
“ITS,
pak... ITS dimana ya, pak?”, aku memastikan lagi.
“Oalah
ITS toh...”
“Hahahahahaahahahahahahaha...
sampeyan lurus mawon. Gak sampe semenit wes sampe ITS.”
“Lha
kuwi tulisan’e wes kethok tekan kene! HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA...”. Semua
yang ada di sana ikut tertawa
Aku linglung. Aku sedikit begidik
mendengarkan jawaban bapak-bapak tukang becak itu. Aku mencoba mencerna
pelan-pelan. Dan akhirnya, aku mencoba meluruskan pandanganku. Aku memicingkan
mataku supaya terlihat lebih jelas dan... Doeng!!!
Terlihat jelas di depanku tulisan InstitutTeknologi Sepuluh Nopember. Aku berasa bodoh sekali. Kulihat tukang-tukang
becak di depanku masih tertawa. Aku sudah menjatuhkan harga diriku di depan
tukang becak tersebut. “Pertama kali di
Surabaya ta, mas?”, tanya mereka, masih sambil tertawa. “Oh, Terima kasih ya, pak...”, jawabku
gak nyambung. Si-banyak-tanya kini
merasakan dampaknya.
Hal serupa terjadi lagi kira-kira 3 bulan
yang lalu, ketika aku mengganti ban luar sepeda motor di sebuah bengkel di
daerah Putat Jaya.
“Mas,
laker’e gak diganti pisan ta? Ben gak kocak stir’e.”, pinta montirnya.
Laker, apa itu laker. Aku mencoba menggali otakku lebih dalam, namun tidak
menemukan apa-apa.
“Iya,
mas?”. Hanya kalimat bodoh itulah yang dapat aku utarakan.
“Niki
lo, laker’e wes kocak kabeh. Diganti pisan nopo mboten?”. Laker, laker,
laker. Apa itu laker. Aku masih belum menemukan definisi laker di kamus otakku.
“Laker
itu apa ya?”. Kalimat pamungkas itu keluar begitu saja, tanpa memikirkan
dampak yang terjadi. Dan...
“Loh
alah... Sampeyan gak ngerti laker toh? AHAHAHAHAHA...”
“Opo’o,
mas?” Montir lain bertanya pada montir yang menangani motorku. Penasaran.
“Iki
lho... mas iki gak eruh laker iku opo... AHAHAHAHAHA...”
“AHAHAHAHAHAHA...”.
Montir yang bertanya tadi pun ikut tertawa.
Begitulah. Montir lain bertanya pada montir
lainnya. Montir lainnya pun menyebarkan info ketidaktahuanku-akan-laker ke
montir lain. Hingga seluruh montir tertawa. Heboh. Ya, ini heboh banget. Dan si-banyak-tanya
kena dampaknya lagi.
![]() |
Laker Roda Sepeda Motor |
Sejak si-banyak-tanya kena dampak negatifnya
berkali-kali, si-sok-tahu mulai menunjukkan aksinya. Beberapa waktu yang lalu,
ada pembangunan kecil-kecilan di rumahku. Dua orang tukang sedang memasang laci
dan beberapa pigora di dinding. Dan finger-nya
habis. Ya finger namanya. Aku
menangkap kata itu pembicaraan kedua tukan tersebut. Finger ini semacam wadah untuk sekrup yang ditancapkan di tembok,
sehingga sekrup tidak akan merusak bagian dalam tembok terlalu parah/besar. Agak
aneh memang namanya. Finger berarti
jari dalam bahasa Inggris. Oh, mungkin diberi nama finger karena bentuknya yang lonjong-lonjong seperti jari. Alasan
apapun aku terima demi terciptanya koneksi
antara alat itu dengan namanya, finger.
Karena finger habis, aku berinisiatif untuk
membelikannya di toko bangunan terdekat. Tanpa banyak cas-cis-cus, kuhidupkan motorku.
“Permisi,
pak... Finger-nya ada?”, aku bertanya pada pemilik toko.
“Apa,
dik?”, tanyanya.
“Mau
beli finger. 1 dos isi berapa ya? Berapa harganya?”, kataku meyakinkan.
“Finger
itu apa ya?”, tanyanya ragu-ragu. Pegawai lainnya juga tampak tidak ada
yang tahu apa itu finger,
“Loh,
Bapak gak tahu toh? Hahaha...”. Aku tertawa kecil menanggapi respons mereka
semua. “Finger itu yang buat wadah sekrup
di tembok itu lho pak. Kecil-kecil. Dari plastik bahannya.”. Kata-kataku
tersebut aku rasa cukup memberi penjelasan apa itu finger.
“Oalah...
Yang buat sekrup itu toh. Itu namanya fischer, bukan finger. Finger iku lak
drijimu, mas... AHAHAHAHAHAHAHAHA...”. Seluruh pegawai di toko itu tertawa
terbahak-bahak atas sifat sok tahuku. Aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri kenapa
tidak tanya dengan jelas kepada tukang bangunan sebelum berangkat. Kulirik,
mereka semua masih tertawa. Damn!
Si-sok-tahu merasakan akibatnya sekarang.
Menjadi si-banyak-tanya ataupun si-sok-tahu
tentu merupakan suatu pilihan. Aku ulangi lagi bahwa tidak ada yang lebih baik
diantara keduanya. Keduanya sama-sama baik ataupun sama-sama buruk, tergantung
kapan kita menggunakannya. Kalau itu masih kurang membantu, mungkin saran ini
cukup membantu... Jadilah si-sok-tahu
terlebih dahulu. Ketika dirasa usaha yang dilakukan sudah optimal tapi belum
mendapatkan apa-apa, janganlah terlalu gengsi untuk menjadi si-banyak-tanya.
-qn
0 comments:
Post a Comment