I am Indonesian

Everyone Have an Own Name and Story

120 Meter Lagi




“Jadi, malam ini jangan banyak ngobrol. Langsung istirahat. Tidur ya, harus tidur. Soalnya besok pagi buta kita perlu tenaga ekstra buat sampai ke puncak Mahameru.”

Aku gak yakin secara pasti siapa yang bicara saat itu, entah Arat atau juga Mas Herry. Ya, sekitar enam bulan lalu kami memang melakukan perjalanan yang (menurutku) luar biasa. Bersama Arat, Mas Herry, dan dua belas orang lainnya kami melakukan perjalanan untuk mencoba menjadi orang paling tinggi di Pulau Jawa.

“...”

Aku cuma diam, gak tahu harus berbuat apa. Susah banget mendeskripsikan perasaanku saat itu. Antara senang, takut, gak percaya, geregetan, seolah bercampur jadi satu dan aku gak bisa menemukan kata yang pas untuk mewakili itu semua. Yang jelas aku sudah lama membayangkan ini terjadi. Aku sudah lama ingin menginjakkan kakiku atau sekedar berteriak di tempat paling tinggi di Pulau Jawa, Puncak Mahameru. Dan kurang dari empat jam, perjalanan ke sana akan dimulai.


***


“Oi, bangun..! Udah jam 2 nih. Kita bisa kesiangan sampai puncak.”

Setengah gak ikhlas aku membuka mataku, setelah semalaman gak bisa tidur karena dinginnya suhu di Kalimati, tempat camp terkahir sebelum menuju puncak, ini. Setahuku, setidaknya dibutuhkan waktu 4-5 jam untuk menuju puncak karena para pendaki diharuskan turun ke bawah lagi sebelum jam 9 pagi. Karena jam-jam segitu biasanya angin gunung menuju ke lereng/bawah. Dan anginnya bukan hanya angin biasa, angin yang dimaksud mengandung asap beracun atau yang lebih dikenal dengan nama wedhus gembel, asap yang keluar dari kawah Gunung Semeru. Siapa yang ingin nasibnya sama seperti aktivis Soe Hok Gie yang meninggal karena menghirup gas beracun. Mengingat itu semua aku segera bangikit dari tidur, melipat sleeping bag, merapatkan jaket, dan segera keluar dari tenda.

Jreng!

Di luar tenda sepi. Cuma aku dan satu orang lainnya, yang membangunkanku tadi, yang sudah siap tempur. Oh, Shit! Tau gitu aku gak buru-buru bangun. Dengan beringas aku menuju satu tenda ke tenda lainnya. Alhasil, tak lama kemudian semuanya sudah berada di luar tenda dengan muka kucel dan badan gemeteran.

“Jadi nanti gak usah bawa barang banyak-banyak, cukup bawa air minum dan camilan secukupnya aja, senter, dan... kamera tentu saja. Haha.”

Sebagian besar barang bawaan memang sengaja ditinggal di Kalimati, termasuk tenda. Mengingat beratnya perjalanan menuju puncak, rasanya gak mungkin membawa beban berkilo-kilo. Aku rasa tidak ada pencuri yang nyasar hingga ke Kalimati ini. Kalaupun ada, aku rasa dia tidak akan bisa kembali ke daerah asalanya dengan selamat.

Beberapa menit kemudian, semua sudah kembali ke tempat semula dengan keadaan yang benar-benar sudah siap tempur. Yang cewek cuma membawa senter dan botol minuman saja. Yang cowok juga sama, namun beberapa ada yang membawa backpack yang berisi botol minuman yang lebih besar dan beberapa camilan. Karena seharian lebih aku sudah membawa tas carrier 80 litert yang beratnya berkilo-kilo, jadi rasanya aneh kalau tiba-tiba punggung ini lepas tanpa beban. Aku putuskan untuk menjadi salah satu yang membawa backpack tersebut. Semoga ini bukan termasuk kategori sok karena konon katanya yang sok di gunung itu akan mendapat balasan yang ‘setimpal’. Hii...


***


Sepuluh menit kami sudah berjalan. Semuanya masih tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin ada yang masih menata hati untuk perjalanan luar biasa ini. Mungkin juga ada masih gak percaya dengan yang sudah dilakukan ini semua. Atau bisa jadi ada yang masih setengah sadar terbangun dari rasa kantuknya atau masih berusaha melemaskan otot-otot yang belum reda setelah kerja rodi seharian. Kalau aku sendiri sibuk dengan headlamp yang tidak bisa bekerja dengan optimal. Sambil memperhatikan bawah jalan Kalimati yang penuh lubang, semua masih sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada obrolan. Semua diam. Sama seperti puncak Mahameru yang diam kokoh menjulang ke atas menyaksikan para pendaki yang mengaku sebagai pecinta alam berusaha menggapainya.

Bunga Edelweis, sering ditemui dalam perjalanan.

“Eh, ini gak belok kanan sini ta? Ini lho ada tandanya...”
“Loh, masa’? Tapi seinget gue masih lurus kok, Co...”, bela Arat ketika dia diperingati Vico karena tidak melalui jalan yang ada tandanya.

Arat memang pernah ke puncak Mahameru sebelumnya. Selain dia, mas Herry dan Ipul juga pernah mencoba menuju ke sana.

“Loh, mas Herry mana?”, tanyaku bodoh.

Aku baru sadar kalau mas Herry memutuskan untuk tidak mengikuti tracking ini karena (entah maag atau kakinya kram) ini. Mas Herry kembali ke tenda sendirian untuk istirahat.

Perdebatan tentang jalur yang benar masih berlanjut. Beberapa orang berusaha mengecek keadaan jalur yang mereka yakini benar. Aku? Aku diam saja. Di samping karena aku gak tahu medannya sama sekali, aku juga masih asyik dengan headlamp-ku. Beberapa teman yang lain juga memutuskan untuk diam saja dan menunggu hasil perdebatannya. Mengisi waktu ‘kosong’ itulah obrolan mulai terjadi. Suasana tidak diam dan kaku seperti tadi. Keceriaan mulai tampak dari rona wajah dan binar mata mereka. Seiring dengan itu, kami pun telah memutuskan untuk melalui jalur yang ada tandanya.


***


Kalimati merupakan sebuah lahan datar yang luas, bisa juga dibilang padang rumput dan ilalang, yang dikelilingi oleh hutan vegetasi. Ada yang bilang hutan sekitar Kalimati itu merupakan hutan vegetasi cemara, tapi yang aku lihat di sana tidak hanya tumbuh vegetasi cemara. Dinamakan Kalimati karena di sekitar sana ditemukan sebuah lengkungan garis memanjang seolah-olah itu merupakan sebuah kali atau sungai, namun tidak ada airnya (mati). Kali tersebut memang bukan wadah air, namun sebagai wadah lahar yang tumpah dari mulut Semeru saat meletus. Kalimati juga merupakan camp dan rute terakhir yang disarankan oleh pengelola setempat. Aku setuju kalau Kalimati merupakan camp terakhir karena melihat kondisi geografisya yang sangat memadai, di samping itu di sekitar Kalimati juga ada sumber air mineral, dikenal dengan nama Sumber Air Mani. Namun, aku yakin kalau semua pendaki gak setuju kalau Kalimati merupakan rute terakhir dari perjalanan ini. Oh, Man! Puncak Mahameru udah di depan mata. Ganjil rasanya kalau tidak menuntaskan perjalanan ini sampai ke tempat tertinggi. Namun mengingat berat dan bahayanya jalur yang dilalui menuju puncak, aku rasa saran dari pengelola tersebut sangatlah masuk akal. Pengelola tidak menanggung resiko atas semua kejadian yang terjadi melebihi wilayah Kalimati. Ini artinya, para pendaki lah yang harus menanggung sendiri resiko yang terjadi kepadanya maupun kepada anggota grup-nya. Dan kami mengambil resiko itu semua.

Kami mulai memasuki hutan yang mengelilingi Kalimati. Hutan ini dikenal dengan nama Arcopodo. Arcopodo merupakan wilayah vegetasi terakhir sebelum menuju puncak, selebihnya akan disambut oleh gunung pasir dan kerikil. Memasuki Arcopodo jalur mulai terasa berat. Sebagian besar serupa dengan anak tangga yang terbentuk alamiah dari bebatuan dan akar pohon. Tidak jarang aku harus menggunakan tangan untuk membantu melangkah atau membutuhkan uluran tangan teman di depanku untuk menarik tubuh yang semakin berat ini. Memang di situasi semacam inilah terkadang aku baru sadar bahwa sesungguhnya manusia itu merupakan makhluk sosial, makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Bisa jadi aku maupun teman-teman yang lain bisa menjadi sosok mandiri yang hebat di luar sana, namun di sini aku menjadi sosok yang payah, yang sedikit-sedikit minta bantuan walaupun agak gengsi untuk mengucapkannya. Sosok mandiri, hebat, dan angkuh di satu sisi, namun di sisi lainnya menjadi lemah tak berdaya. Dan aku pastikan bahwa kehidupan ini tak hanya berjalan di satu sisi saja.

“Aduh, perutku sakit nih! Kakiku juga kram. Minta waktu istirahat bentar.”

Sebenarnya kami pantang untuk istirahat di luar jadwal yang telah ditentukan. Waktu berjalan semakin cepat. Matahari pun akan nongol sebentar lagi. Ini artinya kami harus sampai puncak secepat mungkin. Aku sendiri rasanya ingin langsung melanjutkan perjalanan ini hingga ke puncak tanpa istirahat, jika memungkinkan. Namun, karena salah satu teman kami memang butuh banget istirahat, kami pun jadi punya waktu ekstra untuk melenakan otot ini.

“Aduh, aku udah gak kuat naik ini. Aku kembali ke tenda aja ya.”

Deg! Entah kenapa permohonan temanku itu seolah menjadi pertanda bahwa perjalanan ini tidak semudah yang aku bayangkan. Memang sebelum perjalanan ini dilakukan, aku sempat riset melalui internet tentang segala hal yang berkaitan tentang Puncak Mahameru. Sebagian besar memang mengatakan bahwa perjalanan ke sana sangatlah berat, apalagi saat tracking menuju puncak. Dalam novel 5cm pun mengatakan bahwa perjalanan ke Mahameru bukanlah perjalanan biasa, karena perjalanan itu merupakan sebuah perjalanan Hati. Namun berdasarkan pengalaman tracking sampai sekarang ini, sampai aku dan teman-teman lain di Arcopodo ini, semua lancar dan baik-baik saja. Aku tenang. Aku tidak (atau lebih tepatnya belum) menemukan kengerian yang aku baca pada blog-blog sebelumnya. Permohonan temanku mengacaukan itu semua. Something will be happened on this journey.

Hingga akhirnya Asthy, temanku yang perut dan kakinya sakit itu, memutuskan untuk kembali ke Tenda ditemani oleh Yanuar. Tak mungkin rasanya tega membiarkan Asthy kembali ke tenda sendirian di tengah hutan Arcopodo dini hari begini.

Sudah 3 orang yang memutuskan untuk menunda perjalanan luar biasa ini hingga ke puncak. Sepuluh sisanya masih menyimpan harapan besar untuk menjejakkan kakinya di Puncak Mahameru, hari ini juga.


***

5 comments:

Asti Fawzy said...

ada namaku tercantum disana ^^
alasanku balik itu sbenernya karna gak kuat sama udaranya yang dingin dan berpasir, itu semua bikin napasku tersengal2 dan sesak rasanya, mau pake masker makin gbs napas, kalo masker dilepas yg dihirup pasir. yaah kenangan itu jadi teringat lagi dan tetap menyesakkan hati T.T

mau baca lanjutannya donk kiik ...

Unknown said...

Halo, Asthy.. haha :D

Ini berdasarkan apa yang bisa aku ingat dan tentu saja berdasarkan apa yang aku rasakan dan yang aku lihat..

Haha, sori kalo emang ceritanya keliru (berarti ingatanku yg payah). :P

Sabar, thy.. ditunggu aja ya.. (--")

Asti Fawzy said...

bukan ingatan mu yg payah kiik, tapi emang waktu di sana kan kita berjauhan jadi kamu gtw juga keadaankuu ..

btw paginya itu aq ke sumber mani lhoo, bagus bgt ternyata, tapi kok lupa bawa kamera --' eman banget ..

iradatul arat siharis said...

The Best banget ki.. :)

ga tau gw mau bilang apa lagi nih...

bener-bener jadi pembelajaran nih di semeru.. khususnya buat gw sendiri..bener yang lo bilang ki
"Bisa jadi aku maupun teman-teman yang lain bisa menjadi sosok mandiri yang hebat di luar sana, namun di sini aku menjadi sosok yang payah, yang sedikit-sedikit minta bantuan walaupun agak gengsi untuk mengucapkannya. Sosok mandiri, hebat, dan angkuh di satu sisi, namun di sisi lainnya menjadi lemah tak berdaya."

gw juga jadi tau kekurangan gw ternyata banyak sekali.. penuh pelajaran sekali.. Thanks ki buat nulis ini, ngingetin lagi perjalanan menuju puncak mahameru..

ditunggu lanjutannya ya, @ranu kumbolo.. :)

Unknown said...

Thx udah mampir, rat.. :D

Lagi agak nganggur nih, mangkanya sempet nulis.. haha..

Oke, Rat.. ntar kalo ada waktu ya.. masih nerusin tulisan yang ini (kan belum selesai)..

Post a Comment

 
 

Total Pageviews

Followers